Terbangkan layang – layang itu

Sore itu Budi kecil sudah berlari-lari ke lapangan. Ia mengajak pamannya. Sehabis oleh-oleh sebuah layang-layang lengkap dengan gulungan tali, dia tampak bersemangat sekali. Sebelum ini dia memang sering memandang banyak layang-layang yang beterbangan diatas langit rumahnya. Budi kecil sangat ingin menerbangkan layang-layangnya sendiri.

“Hati-hati, Nak. Tetap main layang-layang disamping pamanmu ya..” begitu pesan Bunda tadi sebelum berangkat. Bukannya tanpa alasan anak-anak seringkali terpancing mengejar layangan putus, entah kenapa. Kalau sudah begitu mereka tidak memperhatikan lagi bahaya. Yang penting siapa cepat siapa dapat. Akibatnya malang tak dapat ditolak banyak kecelakan fatal terjadi. Belum lagi pagar – pagar tetangga yang rusak karena sering dilanggar gerombolan anak-anak nakal pengejar layangan putus itu.

“Paman aku yang menarik talinya ya ..”
Budi kecil meminta pamannya memegang layang-layang itu. Lalu dengan semangatnya ia menarik tali sekeras-kerasnya.
“Pelan-pelan Budi .., hati-hati nanti layang-layangnya rusak ”
Menerbangkan layangan memang bukan perkara gampang, jika asal tarik layang-layang akan justru terjerembab jatuh, parahnya terseret-seret ditanah, dan tentu saja merusak kertas layangannya.

Benar saja kecerobohan selalu harus dibayar. Satu layang-layang Budi sobek sebelum sempat terbang.
“Tenang Budi, masih ada beberapa kan yang kita bawa, bantu paman mengikat talinya nanti gantian paman ajari menerbangkannya ..” hibur paman baik hati itu.
Beberapa saat kemudian tampak keduanya berganti posisi. Budi berdiri memegangi layang-layang yang baru. Sedangkan pamannya tampak tenang mengulur tali, kemudian perlahan menariknya. “Jangan kau pegang terlalu keras Budi, rasakan tarikan tali ini lalu lepaskan ..”
Perlahan namun pasti layang-layang itu naik diiring tiupan lembut angin. Pamannya tampak sesekali mengulur tali untuk menambah ketinggian, dan menarik-narik tali agar ketinggian stabil. Budi serius memperhatikan keahlian pamannya itu. Semakin besar saja tekadnya agar bisa menaikkan layang-layang sendiri.

“Budi sini, … nah layang-layangnya sudah terbang, coba kau pegang talinya…”
Paman mempercayakan layang-layang itu pada Budi. Budi merasakan ada tekanan tertentu pada tali layang-layang itu.
“Kenapa talinya jadi berat paman ? ”
“Itu karena layang-layangmu terus ditiup tenaga angin di atas sana, sehingga dapat terus terbang..”

Budi masih terpana dengan sensasi memegang tali layang-layang yang sedang terbang itu. Sampai beberapa saat kemudian ada layang-layang merah mendekat.
“Awas Budi … layang-layangmu sedang diincar layang-layang merah itu !” paman segera memperingatkan
“Apa yang harus kulakukan ?”
“Gerakkan tanganmu ke kanan, tarik – tarik ke kanan, usahakan lebih rendah dari layang-layang merah itu ..”
Rupanya fase paling menarik dalam bermain layang-layang sedang terjadi. Adu layang-layang memang lazim terjadi di lapangan ini. Biasanya benang layangan sudah diberi “gelasan” semacam lem yang sudah bercampur bubur pecahan beling. Sehingga jika dua layang-layang sedang beradu di udara sebenarnya yang terjadi mereka sedang mengadu siapa yang mempunyai benang “gelasan” paling tajam.

Budi yang menyadari ancaman terhadap layang-layang miliknya berusaha sebisanya menghindarkan diri dari kejaran layan-layang merah itu. Namun apa daya tangan kecilnyal belum seahli pemilik layang-layang merah. Tak sampai lima menit tekanan tali yang dipegangnya melemah mendadak. Rupanya benang gelasan si layang-layang merah berhasil menggesek layang-layang miliknya. Paman dan Budi hanya bisa melihat sebuah layang-layang terbolak balik oleh angin , menjauh tak tentu arah, lalu di ujung jauh terdengar sorak sorai ,” Horeee .. ada layangan putus ..” dan segerombolan anak-anak lain mengejar layang-layang Budi.

Budi tampak kecewa.
“Kenapa benang ini tidak diberi lem gelasan sih , paman ?”
“Ya karena tanganmu akan tergores-gores … liat tangan paman ini …”
Budi terkejut selama ini tak begitu memperhatikan. Telapak tangan pamannya penuh gores-gores kecil, rupanya inilah hasil bermain benang gelasan.

“Budi kamu tak perlu mempunyai banyak bekas luka seperti paman …, kamu cukup menikmati bermain layang-layang saja, dan belajar makna permainannya …”
“Ah maksud paman seperti ajaran Bunda tentang perbuatan-perbuatan baik ? kan hanya permainan masak sie ? ”
“Tentu saja, kalau kamu mau belajar … dan tidak bandel apalagi ikut mengejar layangan seperti anak-anak nakal itu ”
“Kalau begitu coba lagi menerbangkan layang-layang satunya itu paman …”

Paman mengajak Budi memilih tempat agak ke bagian sudut lapangan luas itu. Paman tidak ingin mengulangi kesalahan tempat sehingga dikira ikut main adu layangan.
“Bermain layangan itu adalah pelajaran berani menaruh cita – cita setinggi langit, berani belajar menerbangkan sesuatu seringan layang-layang ke atas langit tanpa batas …”
“Wow .. betul juga paman, tapi tadi susah sekali sepertinya kucoba sendiri paman ..”
Kali ini Budi diberikan kesempatan belajar menerbangkan sendiri.
“Memang ada cara yang kelihatannya mudah seperti paman tadi, tapi kuncinya harus pantang menyerah memulai sesuatu, karena kegagalan memulai akan menuntun kita pada gilirannya menemukan cara sendiri untuk memulai sesuatu dengan benar sesuai pengalaman .. ”
Paman memegangi layang-layang dan Budi bersiap menarik talinya dengan jarak beberapa meter didepannya.
“Hati – hati Budi, ingat rasakan hembusan angin, setelah layang-layang ini lepas, tarik pelan, ulur sedikit, tarik lagi, ulur lagi … !”

Sekali gagal.
Dua kali gagal lagi.
Ketiga kali nya lebih parah, untung paman menangkap layang-layang itu.
Keempat kali layang-layang itu bisa naik mulus tapi ketika diulur hembusan angin berkurang sehingga hampir saja tersangkut pohon.
Kelima kalinya setelah benar-benar memperhatikan kuat lemahnya hembusan dan arah angin layang-layang itu berhasil juga diterbangkan.

“Horeee … terbang paman! terbang paman ! ”
Tampak acungan jempol paman dan tepukan tangan.

“Jadi kuncinya tarik-ulur di saat yang tepat ya paman …”
Paman membenarkan.
“Tarik-ulur adalah pelajaran hidup yang berharga ..”
Kemudian sambil menikmati sensasi tarian layangan itu di panorama biru langit, paman menjelaskan lebih lanjut. Tarik-ulur diartikan dengan antara menahan diri dan memberi kesempatan sesuatu dalam diri kita berkembang. Sedangkan kuat dan tidaknya hembusan angin adalah lingkungan pendukung kita sehari-hari, selalu ada dan bisa pergi sewaktu, karena itu belajar dari pengalaman kejelian sangat diperlukan.

“Menahan diri itu seperti apa paman ? ”
Paman menjelaskan tentang adanya batasan norma. Memulai segala sesuatu harus dengan norma yang benar, niat yang benar, tindakan-tindakan yang terpuji.
“Jika kamu ingin dapat nilai bagus dalam ujian, kamu harus bertekad tidak mencontek teman, kamu harus menahan diri tidak menonton kartun saat jam belajar malam dirumah, kamu harus rajin mengerjakan setiap pekerjaan rumah…”
“Tapi teman yang mencontek nilainya biasanya lebih bagus paman ..”
“Mungkin benar .. tapi tidak ada gunanya, masih ingat ketika kamu terlambat menarik layangan ketika hembusan angin berkurang tadi ?”
“Oiya … layang-layangnya hampir saja tersangkut pohon, untung paman bantu menariknya..”
Tanpa norma yang benar, manusia hanya menggantungkan diri pada nasib, pada orang lain, atau pada sesuatu yang tidak pasti. Norma yang benar akan mendidik diri sendiri untuk suatu pengendalian.

“Jika ingin nilaimu bagus satu-satunya jalan terbaik ya perhatikan setiap ajaran Bapak dan Ibu Guru, mengulang pelajaran sendiri di rumah …dan ”
“.. itu berarti aku yang menentukan sendiri hasil belajarku ya paman, tapi kalau nilainya tetap jelek ? ”
“Kamu benar-benar mengerti yang kau pelajari ?”
“Tentu saja …Paman ”
“Kalau begitu ilmumu tidak akan hilang, biar saja nilaimu tertinggal di raport tapi ilmumu tidak”
Paman lalu menjelaskan bahwa Tuhan tidak pernah salah memberikan berkah. Bisa saja orang lain menjadi kaya dengan cara tidak halal, tetapi di akhir hari mereka hanya menuai derita terhina dan bahkan bisa masuk penjara. Tetaplah di garis ajaran-Nya maka berkah usaha hanya masalah sekeras apa dalam berusaha.
“Kemudian tentang ulur, sederhananya kamu harus cerdik ..”
“Maksudnya paman ? untuk bersaing dengan teman-temanku yang suka mencontek ?”
Bahwa manusia harus berprestasi adalah wajib. Bahwa ada keterbatasan norma, waktu, dan kesempatan juga adalah suatu kewajaran. Namun hanya menunggu nasib baik prestasi hanyalah mimpi.
“Jadi apa yang harus kulakukan …”
“Kamu harus memberi kesempatan, mengusahakan segala cara untuk bisa selain mencontek tadi. Bisa kan kamu bertanya ke Pak Guru, belajar pada teman yang lebih pintar, berlatih lebih banyak soal-soal di buku ”
Budi mengangguk mengerti.

Layang-layang itu masih menari di angkasa. Hembusan – hembusan segar semilir angin masih membuai mereka. Sementara ditengah lapangan beberapa layang-layang lain masih bertanding, Budi dan pamannya tampak masih berbincang tentang makna-makna permainan layang-layang.
“Lihat Budi bahkan setelah layang-layang itu mengangkasa dengan tenangnya hal itu masih menandakan sesuatu hal ”
“Apa itu ..Paman ” ia menengadahkan kepala mencari-cari.
“Keseimbangan .. lagi-lagi keseimbangan , kemapanan, ketegaran ..”
Budi belum mengerti, tatap matanya masih kosong.
“Apa yang kamu rasakan pada tali itu ?”
“Tekanan, serasa beban .. apalagi kalau angin sedang bertiup kencang ”
Memang benar selalu ada tekanan, selalu ada beban, bahkan seringkali disebut cobaan dalam setiap usaha. Tidak mungkin ada itu semua karena hanya hembusan anginlah yang membawa layang-layang gagah mengangkasa, karena hanya hembusan angin yang dirasakan sebagai beban itulah yang akan membawa kesuksesan. Bersahabatlah dengan tekanan, beban. Peluklah cobaan sebagai jalan menuju setiap tangga prestasi.

“Tapi kita sendiri harus terus melakukan tarik – ulur kan Paman ?”
“Benar Budi, namun jika sudah diatas sana cukup dengan menahannya, tinggal waspada saja jika kamu sudah di puncak prestasimu ..”
“Apa yang ditakuti ketika sudah mencapai puncak ? bukankan segalanya sudah tercapai ?”
Paman menjawabnya cerdik.
“Jika kau lepas pegangan tali ini kira-kira apa yang terjadi ?”
“Ups .. seperti layangan putus .. terbang lepas tanpa arah .. ”
“Itulah jawabannya ..maka tetap pegang erat talimu, waspadalah ” tegas Paman.

Puncak – puncak kemenangan dan pencapaian mimpi selalu didamba setiap manusia. Kita akan selalu dihadapkan 3 pertanyaan,
bagaimana memulainya,
bagaimana berjuang mencapainya,
dan bagaimana menyikapi ketika sudah tercapai.

Harmoni dalam prestasi adalah jawabannya. Maka biarlah angin memacu terbang layang-layang itu, lepas ulur talimu. Namun tetap kekang talimu, tarik untuk seimbangkan laju terbangnya, kendalikan arahnya, dan jika sampai di ketinggian angkasa tetaplah waspada. Tali itu adalah pegangan dan jaminan kejayaanmu. Tali itu adalah pagar-pagar norma dalam setiap langkah pikiran, hati, dan perbuatan. Dengannya kemenanganmu berarti, tanpanya hanya kesia-siaan.

by fixshine

Leave a comment